Menghapus Luka Lama


Sore ini ia kembali lagi, sendiri. Berjalan sendiri di antara pasir dan pantai. Ia ingin menenangkan diri dari semua kekacauan yang menimpa diri. Bersama deru ombak yang tak lelah menyapu setiap kali ia menjejakkan kaki. Ombak datang menghampiri, kemudian menghapus jejaknya. Sesekali ia menoleh ke belakang, menyaksikan jejak kakinya yang hilang. Dalam diam sukmanya bergemuruh gaduh, ah seandainya semudah itu menghapus bayangan masa lalu.

Ayudisa Bestari, seorang ibu muda dengan banyak luka sayatan di hatinya. Tak tampak tapi mungkin sudah bernanah, parah. Demi orang-orang terkasih ia ingin membuang semua perih. Terutama untuk anak semata wayangnya, Bianca. Gadis kecil ini tak boleh kehilangan keceriannya karena trauma yang dialami sang mama. Hari ini, lagi-lagi Ayu tak bisa mengontrol diri. Untuk masalah kecil, ia tega menyudutkan anak tak berdosa itu dengan lontaran kata pedas menyakitkan. Entah mungkin salah, tapi menyakiti anak semata wayangnya itu membuat hatinya puas. Tak tahu mengapa Ia ingin membalas setiap luka hati yang dulu pernah ia rasakan lewat anak Bia anak yang sebetulnya sangat ia sayangi. Setelah puas meracau, ditariklah gadis mungil tak berdosa itu ke kamar mandi. Diguyurlah Bia dengan air dingin.

“Maafin Bia.. ma..maafin Bia..”,pintanya anak kecil itu dengan menangis sejadi-jadi.

Tapi Ayu seolah kehilangan ibanya. Emosinya memuncak hanya karena Bianca mengacak-acak alat make up miliknya untuk bermain. Seharian anak umur 6 tahun itu menangis. Sampai akhirnya ia tertidur pulas dalam kamar. Ia membiarkan saja Bia menangis sendiri di kamar. Seolah ada rasa puas dalam diri. Entah apa yang merasuki ibu muda itu. sesaat kemudian penyesalan demi penyesalan baru menghinggap di diri Ayu. kemudian ciumilah anaknya sambil menangis terisak.

“Sungguh malang nasibmu nak, punya Ibu sekejam Mamamu ini!”, ucap Ayu sambil terisak. Lalu ditampar pipinya tak tau berapa kali sebagai wujud penyesalan.

Sukmanya bergemuruh, gaduh. Segaduh deru ombak di pantai sore itu. Laut yang indah nan sepi memanglah tepat sebagai tempatnya berbagi. Berbagi setiap lara untuk bisa dilempar pergi. Ayu hanyut dalam lamunan. Terkadang bibirnya terlihat bergerak entah apa yang diucapkannya. Tampaknya ia tengah membiarkan berbagai kenangan muncul di layar ingatan.

Tiba-tiba Ayu mengeluarkan secarik kertas dan pena dalam tas kecilnya. Semua isi hati tumpah ruah dalam secarik kertas tak tersisa hingga matahari jingga mulai melukis cakrawala. Kegaduhan di hatinya bertahun-tahun ingin ia lepas disini. Ayu tak ingin menyalahkan siapapun karena setiap makhluk bernyawa tak mungkin Allah biarkan begitu saja tanpa ujian. Begitu juga dengan dirinya. Tapi hati tak bisa dibohongi. Dia menyayangi Ayah-Ibunya tapi tidak berarti bisa membuang begitu saja kenangan pahit itu.

Konon ceritanya, Sukma, ibu Ayu dinikahkan di usia belia. Di saat ia belum genap 15 tahun. Orangtua bu Sukma menjodohkannya dengan Bagas Pradana. Seorang perjaka tua umur 35 tahun yang mapan dan terpandang di kotanya. Seorang pengusaha garmen dan pemilik yayasan yang terkenal dermawan dan sangat di hormati.

Bu Sukma, adalah tunggal kesayangan orangtuanya. Tak pernah diajarkan sedikitpun tentang pekerjaan ibu rumahtangga dan ‘tetek bengeknya’. Sedang pak Bagas adalah pria matang yang menginginkan istri mandiri dan dewasa. Pak Bagas lupa dengan siapa ia menikah. Pak Bagas menuntut banyak hal kepada istrinya yang masih bau kencur itu. Dia menuntut istrinya belajar memasak dan mengurus kebutuhan pak Bagas sendiri. Tak boleh ada sedikitpun campur tangan pembantu. Pembantu hanya bertugas merapikan rumah dan hal lain selain kebutuhan pak Bagas. Namun Pertengakaran demi pertengakaran sering terjadi bahkan di awal pernikahan karena hal-hal sepele. Karena sayur keasinan lah, baju terbakar setrika lah dan kecerobohan ibu Sukma lainnya. Tapi entah kenapa pak Bagas tetap ingin mempertahankan rumahtangga yang tak ada kedamaian didalamnya.

Di tahun ke-2 pernikahan bu Sukma hamil. Kehamilannya disambut suka cita oleh pak Bagas. Bu Sukma dimanjakan di masa kehamilannya. Ia tak lagi diperbolehkan mengerjakan aktifitas mengurus pak Bagas lagi. Tak boleh sedikitpun mengerjakan pekerjaan rumah. Pak Bagas pun selalu menyempatkan pulang lebih awal. Bu Sukma betul-betul bahagia mananti kelahiran anak pertamanya itu.

Tak sabar bu Sukma menanti Ayu kecil lahir. Melengkapi kebahagiaan keluarga mereka. Walau ia belum mengerti, bagaimana caranya mengasuh bayinya nanti. Namun dibayangnya suaminya akan lebih menyayanginya lebih dan lebih lagi. Hari berganti hari. Semua berjalan begitu cepat. Tepat di musim rambutan di kampungnya, Ayu pun lahir. Inilah awal babak baru kehidupan baru, bagi ibu dan anak ini. Bisa dibayangkan betapa bahagianya Ayu disambut. Aqiqoh dilaksanakan super meriah dengan mengundang kolega dan pejabat setempat. Sungguh bu Sukma merasa bangga melahirkan Ayu.

Semua baik-baik saja saat mamak bu Sukma membantu mengurus bayinya. Tapi sayang, bu Sukma tak mau sedikit pun mau belajar mengurus bayinya. Apalagi untuk urusan kotoran dan ompol si bayi. Bu Sukma yang manja, merasa jijik dengan kotoran dan ompol anaknya sendiri. Melihat sikap istrinya yang kelewatan, pak Bagas mempersilahkan ibu mertuanya untuk pulang saja. Pak Bagas ingin bu Sukma mau memaksa diri untuk mengurus bayinya dengan baik.

Sepeninggal mamaknya, semua semakin kacau. Pak Bagas terlalu menginginkan bu Sukma menjadi istri dan ibu yang baik. Sedang bu Sukma tidak ada sedikitpun usaha untuk memenuhi permintaan suaminya. Terlebih bu Sukma tak bisa hidup hemat. Kehidupannya dulu yang didik manja, membuat bu Sukma tak bisa mengatur keuangan. Kadang uang belanja sebulan bisa habis dalam sehari. Ini salah satu yang membuat pertengkaran antar suami-istri itu terjadi. Ditambah bu Sukma curiga, pak Bagas ada ‘fear’ dengan sekertarisnya. Keributan jadi tambah sering terjadi. Akhirnya, di tahun ke-4 pernikahan mereka, pak Bagas jarang terlihat di rumah. Ia lebih suka bermalam di kantor daripada harus ribut terus dengan istrinya. Jadilah pernikahan mereka tak ubahnya pernikahan formalitas belaka.

Bagaimana nasib Ayu? Ayu kecil sudah hidup dalam didikan yang salah. Sungguh malang nasibnya. Sejak belia tak pernah ia dapat kasih sayang seorang ibu. Ayu seolah beban bagi ibunya. Kasih sayangnya seolah palsu. Jika ayahnya pulang ia disayang. Tapi jika ayahnya pergi, ibunya kembali berlaku kejam. Dia merasa bagai anak tiri seperti sinetron yang biasa ia lihat di televisi. Hanya bi inah, satu-satunya orang yang mencintainya setulus hati. Seorang asisten rumah tangga sepuh, yang bertugas bantu-bantu ibunya.

Malam itu di ruang makan pak Bagas dan keluarga sedang menikmati makan malam. “Yu.. Bagaimana sekolahmu nduk? Anak ayah satu ini harus juara satu ya, jangan mau kalah dengan Anisa anak pak Ustad itu!”, kata pak Bagas dengan lembut di ruang makan malam itu.

“iya Yah..!”, jawab Ayu tersenyum.

Namun dengan nada tinggi bu Sukma merusak suasana makan malam saat itu, “Benar kata Ayahmu itu Yu.. Ayahmu orang terpandang di kota ini . Malu dong jika anaknya selalu peringkat kedua di kelas!, ibuk lihat kerjaanmu di dapur aja sama bi Inah. Jangan keseringan bergaul sama pembantu nanti lama-lama nular lagi!”

Cara bu Sukma menasehati anaknya itu membuat pak Bagas geram. “Apa sih Ibuk ini bicara kok ngawur gitu!”Jangan dengarkan Yu..!”, peringatan tegas pak Bagas kepada bu Sukma.



Tapi sayang bu Sukma salah faham dan mulailah mereka bertengkar kembali “Yah, aku ini nasehatin Ayu. Kalau mau nyalahin nanti kalau Ayu gak ada. Hilang dong wibawaku di depan anak!”, jawab bu Sukma setengah berteriak pertanda pertengkaran keduanya segera dimulai.

Ayu hanya bisa mengehela nafas. Ditaruhnya sendok dipiring, nasi yang masih sesuap itu sudah tak bisa ia masukkan mulutnya lagi. “Buk.. Yah.. Ayu tidur dulu” ucapnya sambil berlalu begitu saja.

“Hi.. Yu.. Ayu makan mu belum habis.. Habiskan dulu.!, kebiasaan ya kalau di ajak ngomong orangtua nylonong aja!” Seru bu Sukma setengah membentak.

Kata-kata ibunya ia hiraukan kali ini karena air mata di matanya tak lagi bisa dibendung lagi.

“Bagaimana anakmu bisa ngabisin makan. Jika Ibunya nyrocos mlulu!”Kata pak Bagas sambil bangkit dari tempat duduknya. Bu Sukma mengikuti pak Bagas. Mereka bertengkar lagi. Seperempat jam kemudian, terdengar suara pintu mobil dibanting dari garasi depan rumah. Ayu sudah mengira malam itu ayahnya tak tidur di rumah lagi.



Ini sudah kesekian kalinya mereka bertengkar. Sampai kini, usia Ayu sepuluh tahun jarang pak Bagas pulang, rumah anteng-anteng aja. Tapi setidaknya kedatangan pak Bagas yang sebentar menyelamatkannya dari kekejaman ibunya malam itu. Ayu tahu, ibunya akan lebih kejam padanya jika tidak ada pak Bagas di rumah. Karena setelah mereka berdua bertengkar, pasti bu Sukma menangis di kamar. Bukannya ia bahagia diatas kesedihan ibunya. Tapi setidaknya malam ini tak dia tak harus ketakutan ataupun kesakitan lagi. Ayu belajar dengan tenang malam ini. Kemudian segera melaksanakan sholat isya dan bergegas tidur. Ayu pasrahkan pada Allah tentang apa yang terjadi besok pagi.

Sayang, Ayu terlambat bangun. Suara langkah kaki ibunya mendekati pintu kamarnya. Ayu langsung loncat ke pojok kamar. Ia menangis ketakutan bahkan disaat ibunya belum melakukan tindakan apa-apa. Ibunya langsung menghampiri sambil mencubit pahanya. “Tadi malam kenapa kamu gak ngabisin makam malam, Hah kenapa? Emang beras dan lauk di beli dengan daun apa? Atau kamu mau ngrendahin Ibuk mu di depan Ayahmu ya..? Biar Ibukmu ini di marahi lagi oleh Ayahmu? Atau jangan-jangan kamu pengen Ibukmu ini pisah dengan Ayahmu?”, pertanyaan-pertanyaan menyudutkan itu lagi-lagi membuat Ayu kecil ketakutan.

“Enggak buk..enggak..! Maaf ji.. Jika aku gak ngabisin makan ta.. tadi malam. Aku ngantuk bu”, jawab Ayu sekenanya

“Hi.. (sambil menjewer telinga Ayu) kamu berani bohong ya..! Ingat ya Yu jika Ayahmu menceraikan Ibuk, kamu juga ikut angkat kaki dari rumah ini. Kamu sangka Ayahmu mau menampung mu? Anak ngomong aja gak becus seperti mu cuma malu-maluin tahu gak! Sekertaris sundal itu pasti akan kegirangan jika Ibuk sampai cerai dengan Ayahmu. Ah gak akan ku biarkan itu terjadi”, bu Sukma lagi-lagi mengungkapkan kata-kata menyakitkan itu kepada Ayu.

“Enggak buk.. enggak..” Kata Ayu ketakutan.

“Oya satu lagi. Ibu nanti mau ada tamu. Arisan ibu-ibu wali murid. Kamu jangan sekali-kali ikut nimbrung ya! Gak sopan itu. Mengerti!”, ucap bu Sukma bernada mengancam.

“Tapi Buk.. Aku sudah janjian sa.. sama fatma dan Agus bahwa ka.. kami akan main petak umpet depan rumah. Bo.. Boleh ya Buk, Sekali ini aja!” pinta Ayu sambil mencium tangan ibunya itu.

“Gak usah! Ibuk bilang gak usah ya gak usah. Kamu di kamar aja belajar. Ingat minggu depan ulangan. Awas ya kalau kali ini kamu gak bisa dapat peringkat satu!, kata ibunya sambil berlalu.

Sambil menangis Ayu bersiap ke sekolah. Pagi ini nafsu makannya tak jua muncul. Bujuk rayu bi inah tak mempan. Akhirnya ia berangkat ke sekolah tanpa sarapan.

Entah mengapa, semakin hari Ayu susah untuk mengungkap isi hatinya. Semua seperti mengendap di otak dan hanya menghasilkan kata yang terputus-putus saat berbicara. Ayu tidak gagap dalam bicara tapi ia hanya takut salah ketika berkata. Hal ini mengakibatkan banyak teman menertawai cara bicaranya. Akibatnya, di sekolah ia lebih banyak diam dan enggan bergaul dengan siapapun kecuali Agus dan fatma yang tak pernah mempermasalahkan cara bicaranya.

Saat Ayu baru masuk SMP kelas satu, keluarga pak Bagas kedatangan keluarga baru. Seorang bayi perempuan yang hadir bak penyelamat keluarga mereka dari kehancuran. Ya.. Pak Bagas sudah tak lagi menggubris tentang apa kata orang. Dia sudah tak tahan dengan sikap istrinya. Ia mengangkut semua barangnya ke salah satu rumah barunya. Bu Sukma sangat terpukul. Ia jatung pingsan berkali-kali. Tak mau makan, badannya lemah di tempat tidur. Siapa yang merawat bu Sukma? Tak lain tak bukan Ayu anak yang ia sia-siakan. Tapi allah berkata lain. Sebelum mendaftarkan percerian ke pengadilan , bu Sukma positif hamil. Pak Bagas pun mengurungkan niatnya.

Bapak bu Sukma yang menengahi permasalahan mereka. Setelah itu, rumahtangga pak Bagas dan bu Sukma menjadi lebih baik. Bu Sukma merawat kehamilannya dengan baik. Dia pun mengurus pak Bagas dengan baik. Waktunya pun ia curahkan untuk keluarga. Tapi sayang tidak dengan perlakuannya dengan Ayu. bu Sukma masih saja berlaku kasar. Ditambah saat adeknya lahir, ia lebih tak dianggap di dalam keluarga.

Tekanan, dipersalahkan, disudutkan, dipermalukan adalah makanan keseharian Ayu. Dan sayangnya Ayu tak memiliki tempat berbagi. Mungkin ada, tapi dia memilih menyimpan seluruh kepedihannya seorang diri. Hal ini yang membentuk Ayu menjadi pribadi yang pendiam, penakut dan jauh dari kata percaya diri. Dan fatalnya trauma berat membuat jiwanya terguncang. Setelah mendapatkan tekanan, Ayu akan menangis dan menyendiri. Semua masalah adalah masalah besar bagi Ayu. Sesuatu yang seharusnya tak perlu ia ambil pusing tapi bagi ayu adalah tekanan berat. Ayu menjadi pribadi yang sangat rapuh dan menganggap semua perkataan oranglain benar dan dirinya selalu salah. Begitu berat goncangan dalam diri sampai seolah ada bisikan untuk menyakiti bahkan melenyapkan nyawanya sendiri. Tapi sayang tak ada satu pun orang yang peduli. Di dalam ia tertekan di luar tak ada satupun yang mau menjadi teman baiknya. Malah kadang seakan menggoda dan mengejek Ayu yang pemalu. Mungkin tak semua bermaksud buruk. Tapi jika meraka tahu sikap mereka terhadap Ayu hanya memperparah kondisinya.

Sang waktu membawa Ayu dalam tahapan baru dalam hidup. Ayudisa Bestari, semakin hari tumbuh menjadi sosok yang cantik jelita. Rupanya kecantikan bu Sukma menurun pada anaknya itu. Kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, matanya coklat, dan bibirnya indah. Seiring waktu ia pun ia bisa mengontrol cara bicaranya, tak lagi terputus-putus seperti dulu. Mungkin saja ada banyak teman atau pemuda yang menginginkannya. Tapi tak ada yang benar-benar mau dekat dengannya. Mereka hanya ingin berusaha dekat sebagaimana seorang laki kepada gadis pujaannya. Ayu tak butuh itu! Dia butuh teman bukan kekasih. Butuh teman berbagi rasa, bukan kekasih yang sekedar merayu dan menggoda manja. Dia butuh bahu untuk sekedar bersandar sejenak. Dia butuh seseorang yang dengan ikhlas mengusap air matanya yang tak henti dirundung pilu. Baginya tempat kuliah adalah tempatnya menghirup udara segar sejenak. Sejenak sebelum ia kembali ke sangkar emasnya lagi. Tapi sayang tak ada yang benar-benar mengerti dirinya.

Saat Ayu hampir menuntaskan kuliahnya, usaha garmen pak Bagas mengalami kebangkrutan. Modal usaha pak Bagas, habis buat pengobatan Gendis anak keduanya. Ya.. Gadis lincah itu, belakangan didiaknosa terkena leukemia. Semua sangat sedih mendengar hal itu. Begitu juga Ayu. Baginya Gendis adalah satu-satunya pelipur lara. Walau anak kecil itu belum bisa mendengarkan keluh kesahnya. Namun tingkah lakunya yang cerewet dan lucu selalu membuat seisi rumah tersenyum. Ayu ikhlas jika harus putus kuliah jika itu membuat Gendis sembuh dari sakitnya. Namun keadaan semakin memburuk. Gendis harus di rawat intensif di rumah sakit. Sedang di tempat konveksi, ada demo besar-besaran. Karena kebijakan pak Bagas memangkas hampir separo karyawannya dengan pesangon yang dianggap kurang layak oleh para karyawan.



Sore itu di bawah langit kota Jogja. Rembulan terlihat separuh. Menggantung di atas langit yang masih cerah. Ayu beranjak pergi dari rumah sakit. Dia bergegas berjalan kaki menuju pangkalan ojek dekat rumah sakit.

“Titt.. Titt..”, Suara klakson membuat Ayu menoleh dan menghentikan langkahnya. Ternyata Haikal, temannya satu fakultas.

“Dari mana Yu?”, Tanya Haikal sambil mengendarai motornya pelan.

“Dari rumah sakit”, jawab Ayu singkat sambil memperlambat jalannya.

“Mau pulang? Kuantar yuk.. Kebetulan kita searah!”,pinta Haikal

“Gak aku naik ojek aja. Itu pangkalan ojek”, jawab Ayu sambil menunjuk kearah pangkalan yang tak jauh dari posisi mereka berdua

“Ayolah Yu.. Sekali ini aja.. Ada yang mau aku omongin nih!”, pinta Haikal sekali lagi dengan menyatukan kedua tangannya.

“Ada apaan sih kelihatannya penting banget? Ya udah.. Gak papa.. Tapi aku buru-buru lho. Belum sholat juga!”,akhirnya Ayu luluh juga dan menuruti permohonan temannya itu.

“Kita sholat di masjid aja yuk!.. Ketimbang kelewat.”kata Haikal lagi sambil menyerahkan helm ke Ayu.

“Ya sudah gak pa-pa!”, jawab Ayu agak lama setengah berpikir.

Haikal mulai menjalankan motor kesayangannya itu. Tak ada pembicaraan apapun diperjalanan,Suasana hening. Dua anak manusia itu sepertinya sedang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Tak berapa lama, guratan mega kemerahan mulai muncul. Seolah ingin mengambil alih keberadaan rembulan. Langit berubah merona senja. Dihiasi keindahan pucuk-pucuk cemara di sepanjang tepian jalan yang mereka lewati. Sampailah mereka di sebuah Masjid. Para jamaah sudah berhamburan keluar, tanda sholat berjamaah telah usai. Kekaguman Ayu pada Haikal semakin bertambah setelah lantunan merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan Haikal saat mengimaminya tadi. Ya… Haikal adalah satu-satunya pemuda yang diam-diam membuat Ayu tertarik. Entahlah mengapa Ayu sudah sangat kagum pada Haikal sejak awal perkuliahan dulu. Mungkin Haikal tidaklah setampan beberapa teman yang mendekati Ayu. Namun sikapnya yang biasa aja dengan Ayu itulah yang membuatnya tertarik. Dia tak pernah menggoda atau memperlakukan Ayu istimewa. Terlebih pribadinya yang tegas, dewasa, dan agamis membuat Ayu nyaman berbicara dengan Haikal. Walau sekedar bertanya-tanya tentang perkuliahan.

“Yu duduklah sebentar aku mau bicara dulu, kamu udah janji lho ya!”kata Haikal menagih janji

“Ya sudah jangan lama-lama ya.. Aku udah janji mau balik antar makan malam dan baju ibuk ke rumah sakit”, jawab Ayu.

“Gak.. gak lama kok, Yu boleh tanya gak, kenapa sih kamu gak pernah kumpul-kumpul sama teman. Selalu berangkat telat kemudian langsung pulang. Padahal banyak lho yang ingin ngobrol sama kamu.. Tu Adam, Doni..”,ledek Haikal sambil tertawa geli.

“Apa sih kamu Kal”, ucap Ayu sambil refleks menutup mulut pemuda itu. Rona merah di pipi membuat senyum malu Ayu semakin memesona.

Haikal langsung terdiam.

Membuat Ayu salah tingkah, “Ups maaf.. Kamu sih!”

Haikal kemudian mengambil tangan kanan yang Ayu gunakan untuk menutup mulutnya tadi sambil berkata ”Yu tahukah kamu, aku sangat menanti saat-saat seperti ini sejak pertama kita bertubrukan di koridor kampus 3 tahun yang lalu. Saat itu kita masih sama-sama mengumpulkan berkas-berkas syarat pendaftaran kampus kita. sejak itu aku sudah menaruh hati kepadamu!”

Seolah gayung bersambut. Ternyata pemuda yang terlihat cuek itu memiliki perasaan yang sama dengan Ayu, “Emm.. Gimana ya Kal…”. Belum sempat menjawab, suara dering terdengar dari handphone di tas kecil Ayu. Pak Bagas meminta Ayu untuk menemuinya di sebuah rumah makan langganan keluarga. Dengan perasaan tak enak hati Ayu berkata, “Sorry… aku ada urusan penting dan maaf aku juga belum bisa menjawab pertanyaanmu itu sekarang. Gak pa pa kan?”.

“Oh.. iya..Gak pa-pa, yuk.. tak anter pulang!”, jawab Haikal tersenyum sambil menyerahkan helm kepada Ayu. Tak lupa ia memberinya selembar kertas berisi nomor telepon.

Sampai di rumah Ayu bergegas ke tujuan lain ke rumah makan yang di maksud ayahnya. Setelah sebelumnya meminta tolong bi Inah untuk mengantar Keperluan ibunya ke rumah sakit.

“Itu.. dia anakku yang cantik?”,Sambut pak Bagas saat Ayu datang. Ayu hanya tersenyum. Bersama ayahnya ada sebuah keluarga. Ayu kurang tahu karena selama ini Ayu tidak dan belum pernah di kenalkan dengan kolega ayahnya itu. “Ayo Yu kenalkan ini keluarga pak Joko. Pak Joko adalah teman baik ayahmu ini”, ucap pak Bagas sambil menepuk pundak seseorang yang kelihatan lebih tua darinya. Mungkin dia yang bernama pak Joko. Firasat Ayu benar, Ayu dijodohkan pemuda anak pak Joko itu. Anton namanya. Seorang lelaki yang duda beranak beranak satu berumur sekitar 30-an yang sedari tadi menatap dirinya sampai Ayu merasa gak nyaman.

‘Yu.. bisa Ibuk bicara sebentar!”,ucap ibunya membuyarkan lamunan Ayu di ruang tunggu rumah sakit itu.

“Iya buk silahkan”, jawab Ayu sopan.

“Yuk gimana menurutmu anak pak Joko tadi? Dia pemuda baik-baik lho Yu. Malah sangat baik. Hanya keluarga mereka yang sudi membantu kita. Mereka dengan suka rela memberi pinjaman untuk menutup hutang-hutang ayahmu. Rumah sakit ini juga mereka yang nanggung”,tuturnya sangat lembut bak peri dari khayangan. Ayu belum mendapatkan sikap selembut itu dari ibunya.

“Emm.. tapi buk kalau boleh aku ingin menuntaskan kuliah dulu!”, jawab Ayu sedikit khawatir ibunya marah.

“Gampang itu nduk… kuliahmu kan hampir selesai . Kamu bisa tetap kuliah nanti setelah menikah.. ya nduk.. Ibuk mohon demi adekmu Gendis!”, Sambil menggenggam tangan Ayu kemudian memeluk Ayu erat sambil menangis.

Baru malam ini ibu nya berlaku lembut padanya. Sesuatu yang sangat ia harapkan selama ini. Pelukan itu sangat ia rindukan. Karena entah kenapa sampai Ayu telah dewasa kini ibunya itu tetap memperlakukan Ayu kasar. Malah tak segan-segan menjewer dan mencubit Ayu di depan sanak saudara jika Ayu melakukan sesuatu yang dianggap ibunya salah. Ayu diam untuk sekedar ingin menikmati pelukan ibu sejenak.

“Maaf bu saya pikir-pikir dulu boleh?”, pinta Ayu kembali.

“Boleh…!”, sambil melepas pelukan,”Tapi keputusanmu tidak diperlukan disini Yu.. kamu mau atau tidak pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Ibu dan ayah memberi tahumu malam ini agar kamu gak kaget”.

Bagaimana dengan dirinya. Ayu merasa sungguh tidak dianggap. Seolah ia ingin teriak kepada ayah dan ibunya, “Aku juga anakmu buk yah.. dan ini adalah keputusan menyangkut masa depanku”. Tapi sayang Ayu tak bisa memilih. Memilih sekali saja untuk masa depannya. Sesaat Ayu ingin sekali saja egois. Pergi meninggal semua ini dan pergi jauh entah kemana. Tapi bayangan tentang Gendis mengurungkan niatnya. Maka dengan berat hati diambil handphone di dalam tas kecil yang berada tepat disampingnya untuk segera memberi jawaban kepada Haikal yang mungkin telah menantikan jawabannya. “Maaf Kal setelah ku pikir-pikir, aku tidak bisa menerima cintamu. Aku yakin pemuda baik sepertimu akan mendapatkan cinta yang jauh lebih baik dariku”,pesan singkat ia kirimkan dengan gemetar menahan sedih.

Tak butuh waktu lama persiapan pernikahan Ayu sudah mulai ketara. Sepertinya penikahan akan diadakan besar-besaran. Sudah dipastikan seluruh dana pernikahan keluarga pihak lelaki yang menanggung. Ada ratusan sms masuk di handphone Ayu. Tentang kenapa dan mengapa Ayu tiba-tiba menikah. Entah dari mana nomor-nomor tak dikenal itu masuk. Tapi dimatikan saja handphone itu. Ayu lelah memikirkan tentang perasaan orang lain. Padahal perasaannya juga lebih perih. Ia harus menyerahkan cintanya dengan seseorang yang tidak dicintainya. Bagaimana bisa seluruh hidupnya ia habiskan dengan orang yang tak pernah ia kenal sekalipun. Entah bagaimana rasanya jika tubuhnya akan disentuh oleh orang yang namanya saja pun baru ia tahu. Tapi Ayu tak bisa berbuat apa-apa. Ayu hanya bisa menangis dan menyerahkan semuanya pada Allah.

Kehidupan laksana roda yang berputar. Perjalanan hidup tak mungkin hanya diliputi kesedihan saja pasti kebahagiaan akan menyusul setelahnya sebagai hadiah penutup setiap perjalan hidup. Bersama suaminya Ayu bahagia. Walau butuh waktu lama Ayudisa Bestari bisa menerima kenyataan. Tapi kedewasaan dan kesabaran suami meluluhkan hatinya. Walau trauma masa lalu tak mungkin begitu saja ia lupakan tapi setidaknya kehidupan penuh tekanan telah terlewatkan.

Dia lah Anton Sosok duda anak satu itu adalah pribadi yang sabar dan lembut. Ayu hidup bersama di rumah baru suaminya. Sedang anak laki-laki suaminya dalam pengasuhan mantan istri Anton karena masih balita. Dua tahun tepatnya, Bianca anak pertama mereka lahir. Sayang kehadiran Bianca seperti seolah membuka luka lama bagi Ayu. Ada rasa takut tak bisa menjadi ibu yang baik dari Bianca. Emosinya juga jadi kurang setabil. Kadang ia sangat lembut sejurus kemudian tiba-tiba dia berlaku sangat emosional dengan marah-marah atau bersedih berlebihan. Kalau sudah begini hanya Anton penyembuh laranya. Pelukan Anton selalu menenangkan batinnya seketika. Tapi Ayu tak boleh seperti ini. Ayu ingin segera bangkit dan hidup normal selayaknya wanita seusianya. Sudah banyak usaha mereka berdua lakukan untuk menghilangkan trauma pada diri Ayu sampai harus berkali-kali ke psikiater. Namun hasilnya belum banyak terlihat. Sampai suatu saat Ayu dikenalkan dengan teman kantor Anton yang bernama Yuni. Dari Yuni, Ayu mulai mengenal dunia literasi. Dan Ayu senang, karena dengan menulis bebannya bisa lambat laun berkurang.

Ketika kalimat terakhir ditulisnya, senja telah temaram. Segala keindahan warna mulai perlahan dihisap kegelapan. Ayu memisahkan pena dari kertas yang tak lagi kosong. Angin pantai semakin kencang menyapu wajah ayunya. Ia berjalan bukan berlalu pergi. Ia rasakan setiap hembusan angin yang menyapu kencang. Diangkatnya kertas penuh goresan luka di hatinya itu dengan dua jari. Kemudian Perlahan ia lepaskan untuk membiarkan kertas itu melayang menyentuh lautan. Perlahan namun pasti, kegelapan menyapu semua keindahan senja. Kelamnya seolah berkongsi dengan sepi. Bersama larutnya goresan luka dalam secarik kertas yang terbawa pasangnya gelombang pantai.

“Aku gagal mengusirnya pergi. Aku menyadari segala peristiwa dalam diri sudah terpatri dalam sanubari. Tak mungkin begitu saja hilang karena tanpanya aku bukan aku yang sekarang. Berdosa jika aku mengusirnya pergi karena hidup bagaikan siang dan malam. Setiapnya memberi pelajaran sampai pada titimangsanya aku berdiri sekarang. Hari ini ku serahkan segenap ingatan kepada lautan. Seperti sungai yang kotor yang mengalir larut denganmu. Jika ia memaksa kembali, biarlah ia datang menjadi hujan . Ia tetap ada tapi hanya sebagai pengingat agar hidup tak lagi berputar pada jalan yang sama”, batin Ayu sambil berlalu pergi.

Ayu kembali ke peraduannya mengutit sang surya yang sudah mendahului karena tak sabar menunggui ayu yang masih juga bergelut dengan masa lalu. Suara adzan seolah berlomba dengan debur ombak lautan. Sesekali Ayu menoleh ke laut seolah mengucapkan perpisahan pada setiap lara yang pernah menghampiri hidupnya. “huft.. Aku harus membiarkan ia larut ke dalam laut, mengikhlaskannya menjadi buih yang menambah warna indahnya laut yang bersih”, batin Ayu sambil menarik gagang pintu pada mobilnya. Langit semakin gelap membuatnya mempercepat laju sedannya itu agar segera bisa berjumpa dengan anak dan suaminya.

0 comments