Bidadari dalam Bus Kota

Gemercik hujan seolah membawaku bernostalgia dalam lamunan tentang kenangan indah yang tak terlupakan. Tentang seorang gadis ayu yang ku temui di bus kota 5 tahun lalu. Seorang gadis berjilbab ungu, duduk dekat jendela nomor dua paling belakang kala itu. Saat itu dengan segan aku duduk di sampingnya. Aku tahu muslimah seperti dirinya kurang nyaman jika aku duduk di sampingnya. Tapi suasana bus yang ramai tak memperbolehkan aku memilih. Selama lebih dari seperempat jam kami tak ada komunikasi dengannya. Sungguh membuatku tak nyaman. Ada rasa sesal merasuk dalam hati. “Mengapa tadi ku putuskan duduk disini? Mengapa juga tadi nggak berdiri saja?”, sesalku. Ku ambil handphone di saku untuk mengusir kejenuhan dan ketidaknyamanan. Sementara ku lihat gadis itu hanya menatap ruas-ruas jalan sambil membawa selembar kertas kecil, kelihatannya sedang mencari alamat. Ku menduga dia baru pertama datang ke kota kami.

“Mau  mencari alamat?”,tanyaku memberanikan diri untuk sekedar basa-basi.

“Iya.” Jawabnya singkat sambil agak tersenyum sebagai tanda sopan.

“Emm.., kalau  boleh tahu, kemana ya arah tujuannya? Mungkin saya bisa bantu!”, tawar ku.

“Terimakasih mas, ‘gak usah. Sudah tahu kok”, jawabnya lagi-lagi sambil tersenyum            

Kami beradu pandangan sebentar. Lalu gadis itu buru-buru mengalihkan pandangannnya. Hatiku tiba-tiba berdesir. Senyumnya yang kelewat manis membuat jantung tiba-tiba berdegub kencang. Lama sudah aku tak merasakan itu. Tepat setelah Rizka, tunanganku tiba-tiba menikah dengan lelaki lain teman kampusnya. Padahal kami sudah menjalin hubungan sejak di bangku SMA.  Kepercayaanku pada sosok pasangan jadi luntur seketika. Tapi entah mengapa, gadis ini sangat berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah ku temui. Ku akui, paras memang sangat jelita. Senyumnya menawan, hidungnya mancung, matanya juga sangat indah.    

Tapi lebih dari itu, gadis ini sangat sopan, pemalu dan gak kegenitan. Tak seperti perempuan-perempuan di luar sana yang ada di sekitar ku. Sikap mereka yang cenderung 'lebay' kepada ku, membuat ku malah semakin 'ill feel' untuk nyari pasangan secepatnya. Mungkin saja mereka ingin menarik perhatianku. Wajar memang disaat karirku sedang naik-naiknya seperti ini, perempuan-perempuan mata duitan itu berlomba-lomba mengejarku. Tapi lihat saja! Saat diriku ketimpa masalah,  yakin deh perempuan macam mereka tak akan sudi jika harus berada dekat-dekat denganku.       

Perasaan yang tak karuan membuatku terdiam. Suasana hening kembali. Dia sibuk menatap jendela. Dan aku pun sibuk menata hatiku. Bus terus berjalan sampai waktunya tiba di sebuah halte, “Maaf mas, bisa bergeser sebentar. Saya ingin keluar. ” pinta gadis itu. Aku mematung sebentar karena baru terbangun dari lamunan. Lalu refleks berdiri dan ku bantu dia mengambil tasnya dikabin bus. 

Sambil memberikan tas, aku tak mau melewatkan kesempatan singkat ini dengan kenalan dengannya, “Kita tadi belum kenalan ya.. Saya Bara, kamu..?”

“Fatma..!”, jawab gadis itu, lagi-lagi dengan senyum manisnya.

“Boleh minta nomor telponnya? Mungkin nanti kita bisa berteman?”, lanjut ku.

Namun Fatma yang baru ku ketahui namanya itu hanya tersenyum sambil berucap, “Makasih ya mas sudah diambilkan, permisi!” Fatma berjalan menjauh dariku menuju ke halte bus. kemudian kulihat dia berjalan menuju kursi tunggu sambil menelpon seseorang. Bus pun melaju.Tak banyak yang bisa kulakukan selain hanya menatapnya sampai hilang dari pandangan.

Senyum manis itu tak bisa kulupakan sejak saat itu. Tapi apakah mungkin kami bisa bertemu lagi? Aku tak tahu alamatnya ataupun apapun mengenai dia selain namanya. Tapi senyumnya selalu tak lepas dari pelupuk mata. Sebetulnya lucu juga aku rasa, bagaimana bisa gadis yang baru kukenal itu membuat aku segila ini. Padahal kami hanya bertemu beberapa menit saja.

Sampai suatu ketika, Irwan menelponku.

“Kesambet setan apa lo Wan!  nelpon siang-siang gini. Bukannya lo udah lupa  dengan sahabatmu ini sejak sudah ada temen baru?”, aku meledek Irwan sambil tertawa lepas.

"Ngaco lo, siapa best friend gue selain lo?", jawab Irwan ketus.

"Jangan pura-pura nggak ngerti ya.. Tu temen tidur lho alias istri lo..!" ejekku puas.

“Ah … lo bisa aja Bar!”, jawabnya juga disertai tawa.

Kami pun ngobrol kesana-kemari. Sampai akhirnya dia mengutarakan maksud dan tujuannya menelponku. Ia ingin mengajak ku berta’aruf dengan adik iparnya. Seorang gadis sebatang kara yang seminggu lalu ditinggal ayahnya menyusul ibunya yang sudah dipanggil Yang Kuasa setahun lalu. Aku bingung saat itu sebenernya, mengiyakan atau tidak. Tapi aku merasa tidak enak hati apabila menolak permintaan tawarannya. Dalam hati, aku masih sangat berharap bisa bertemu Fatma lagi. Sampai-sampai aku rela pergi ke kantor dengan bus hanya karena ingin bertemu kembali dengannya. Padahal  Avansa kesayanganku sudah keluar dari bengkel sejak dua hari yang lalu.

Sampailah aku di rumah Irwan. Aku disambut Irwan dan istrinya. Kami telah berbincang cukup lama. Sampai-sampai istri Irwan memaksaku untuk makan siang di rumahnya. Tak jua terlihat adik ipar yang ingin Irwan ceritakan. "Ah, mungkin adik iparnya keberatan dengan ta’aruf ini”, pradugaku dalam hati.

“Maaf ya Bar, adik gue masih belum bisa dihubungi. Setelah diajak istri ke Perpus Kota tempo hari, anak itu jadi kesenangan. Tiap hari setelah bantu di dapur pasti langsung ke perpustakaan. Hari ini katanya dia cuma mau ngembaliin buku yang dipinjam karena sudah jatuh tempo. Eh, Kok belum balik juga”, ungkap Irwan dengan perasaan bersalah.

“Emm.. Jangan-jangan lo belum kasih tahu soal ini ya Ir?”, Tanya ku

”Sudah mas, dia sudah saya kasih tahu dan setuju kok.”, Jawab istrinya

“Ya sudah kita tunggu saja!“,  Jawabku.

Setelah lama menunggu  dan sudah mulai hujan, maka  ku putuskan untuk pulang. Dengan sangat berat hati Irwan dan istrinya mengizinkan ku pulang. Istri Irwan meminjamkan payung karena kendaraan ku ada di pinggir jalan. Tapi baru sampai halaman depan rumah ada seorang gadis masuk ke halaman rumah Irwan dengan mengendarai motor basah kuyup.

“Bar. Tunggu! Adek gue udah datang!”, teriak Irwan menghentikan langkahku.

Sebenarnya aku sudah tak sabar lagi karena menunggu hampir seharian. Tapi  demi persahabatan kami yang sudah berlangsung bertahun-tahun, aku berbalik dan menghampiri gadis yang basah kuyup itu untuk mengajaknya masuk dengan payung yang cuma satu satunya di rumah itu.

Gadis itu lalu membuka helm dan masker nya yang basah kemudian ia tersenyum, sambil berucap, “ Assalamualaikum!”

“Wa-alaikumsalam!”, aku menjawab dengan hati tercengang.

“Fatma kan?”, tanyaku.

“Iya mas”, jawabnya lagi-lagi dengan senyumnya yang manis.

Aku sungguh di buat kaget. Ternyata gadis itu adalah Fatma yang telah membuatku rela berhari-hari pergi ngantor dengan kendaraan umum penuh sesak itu demi bertemu gadis berjilbab ungu yang ternyata adik ipar dari sahabatku sendiri. Kami berjalan menuju rumah berpayung berdua. Tak ada percakapan lain setelahnya. Sampai tiba kami di rumah Irwan kembali.

Alhamdulilah kini Fatma, bidadari dalam bus kota itu, sudah tidur pulas dalam pelukku. Tak ada masalah berat dalam keluarga kami hingga kini. Sikapnya yang santun dan sholehah, sungguh menjadi permata yang menyejukkan mataku. Kesabarannya dalam mendidik, Aisya anak kami satu-satunya juga membuatku bangga.

0 comments