Senja telah terganti dengan kabut
hitam di awan. Penghias langit itu telah berganti menjadi malam yang gelap. Malam ini
masih sesunyi kemaren. Hiruk pikuknya seolah hilang di telan pandemi melanda
negeri. Aku benci pada sang malam. Karena dia selalu menyisakan derita. Derita
yang sudah hafal aku terima. Mengapa kau
tak segera enyah dan berganti dengan pagi hingga kami bisa segera bertebaran ke
bumi? Malam yang lapar selalu menyisakan derita untuk perut-perut kami.
Seperti biasa dua adik ku merengek lapar padahal kami sudah berbuka dengan
sepotong roti pemberian tetangga. Ya.. sepotong roti untuk kami bagi bertiga, sudah
lumayan untuk mengganjal perut yang meronta. Tapi dasar bocah, mereka terlalu
jujur dan tak bisa menahan kenyataan perih hidup.
“Sudah waktunya berbuka, tapi
emak cuma bisa memberimu sepotong roti untuk kalian bagi bertiga. Masih lapar
Nak?”, tanya emak kepada kami bertiga.
“Iya mak!”, jawab mereka serempak
sambil mengangguk pelan
Ingin ku bungkam saja kedua mulut
mungil mereka tapi ku urungkan karena emak pasti tak suka. Aku sulung, biasa
menahan lapar tapi anak-anak sekecil mereka? aku harus mengerti itu. Tapi entah
ada ketakutan luar biasa jika emak keluar malam-malam di saat seperti ini. Aku takut malam membawa pergi emak seperti ia telah menelan habis bapak sebulan lalu. Bapak meninggal di keroyok
massa karena di tuduh mencuri kotak amal musholla kampung sebelah. Aku tidak
percaya itu, kami miskin tapi bukan hati kami! Hatiku masih sesak mengingatnya.
Malam itu, emak tak bisa ku cegah. Padahal di tengah pandemi seperti ini, apa yang bisa dilakukan malam-malam begini. Mau minta tolong, minta tolong kepada siapa? Semua orang sedang kesulitan. Sungguh mustahil ku rasa sedangkan di saat longgar pun mereka acuh kepada kami apalagi di saat seperti ini. Keluarga pemulung yang kotor seperti ini seolah kasat mata di mata tetangga kami.
Malam itu, emak tak bisa ku cegah. Padahal di tengah pandemi seperti ini, apa yang bisa dilakukan malam-malam begini. Mau minta tolong, minta tolong kepada siapa? Semua orang sedang kesulitan. Sungguh mustahil ku rasa sedangkan di saat longgar pun mereka acuh kepada kami apalagi di saat seperti ini. Keluarga pemulung yang kotor seperti ini seolah kasat mata di mata tetangga kami.
“Fit, emak keluar dulu. Jaga adikmu
baik-baik jangan kemana-mana, Jangan juga nyari emak! Secepatnya emak kembali.”
Perintah emak kepadaku.
“Biar aku aja Mak! Mau kemana
sih?”, Rayuku padanya.
“Gak usah, Emak mau ke rumah Bu dhe
Yuni. Siapa tahu ada beras yang bisa Emak pinjam!”. Jawab emak sambil bergegas
pergi
Malam semakin larut, membuat
hatiku semakin kalut. Pandangan mataku tak enyah dari pintu depan satu-satunya
pintu yang kami punya. “Mengapa Emak tak jua pulang?”batinku seolah berteriak.
Ingin rasanya ku tinggalkan adik-adik untuk mencarinya. Tapi pesan Emak
mengurungkan niatku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berperang dengan
nyamuk yang seolah bersekongkol dengan malam. Ikut memusuhi kami, agar
adik-adik terbangun dengan lambung yang perih keroncongan.
“Dok..dok… dok”, suara pintu
diketuk membangunkan lamunanku.
Aku seolah ingin melonjak
kegirangan karena emak sudak kembali. Tapi sayang, perkiraan ku salah. Ternyata di
depanku adalah Bu dhe Yuni dengan membawa sepiring nasi penuh di tangan kanannya. “Wes maem nduk?” tanyanya penuh
kasih.
“Sampun Bu dhe!”, jawabku ragu karena tak terbiasa berbohong. Sambil menerima sepiring nasi dari Bu dhe.
“Sampun Bu dhe!”, jawabku ragu karena tak terbiasa berbohong. Sambil menerima sepiring nasi dari Bu dhe.
“Saya kira emak ke rumah Bu dhe!”,
tanyaku balik pada Bu dhe
Dengan raut muka khawatir, Bu dhe bercerita“Enggak nduk.. Emakmu
gak ke rumah. Ooh ya mungkin tadi sebelum isya mungkin. Sabun cuci Bu dhe habis,
padahal baju kotor wes numpuk segunung. Aku terus metu karo Pak dhemu. Mungkin
Emakmu mrene, aku gak enek. Belum pulang to?".
“Belum Bu dhe”, Jawabku lagi.
“Yoh gek kemana Emakmu ki Nduk? Meh
tengah wengi gini kok belum pulang. Yo wes kamu jaga adekmu baik-baik. Aku tak
bangune Pak dhemu, tak golek ane emakmu!” Perintah Bu dhe kepadaku.
“Suwun Budhe”, jawabku dengan
senyum tanda terimakasih.
Hanya keluarga Bu dhe Yuni yang
mengerti kami. Mereka bukan keluarga kami sebetulnya. Tapi karena kami dari
kota yang sama saja yang membuat kami seperti saudara. Ya.. lima tahun lalu bapak
memboyong kami sekeluarga ke Jakarta. Kota yang belum pernah sekalipun kami
pijak sebelumnya. Bahkan dalam mimpi. Aku hanya tahu kemegahannya dari TV milik
tetangga. Bapak terhasut dengan iming-iming pak Joko dan menjual sepetak tanah
satu-satunya peninggalan mbah kakung untuk merantau ke Jakarta. Setelah
pekerjaan bapak sebagai buruh tani semakin sepi saja. Sungguh malang nasib
kami. Ternyata pekerjaan sebagai penjaga gudang dengan gaji besar hanya bohong
semata. Padahal separo lebih warisan sudah masuk di perut buncit pak Joko. Tapi
pak Joko pergi entah kemana rimba nya. Ya sudahlah, mengingat kejahatan orang hanya
membuat hati semakin sesak!
Pandemi membuat lapar kami
semakin menjadi. Kemaren kami masih bisa keluyuran mencari kerja serabutan.
Emak mulung dan aku bisa bantu jual Koran, semir atau apapun itu. Tapi pandemi membuat
pendapat berkurang drastis. Aku pun harus kerja dengan dengan hati gusar karena
penjagaan semakin di perketat. Anak umur 14 tahun seperti ku memang seharusnya
di rumah saja. Belajar seperti Tono
menggunakan HP pintar. Tapi apa daya aku tak seberuntung Toni tetangga sebelah.
Dan tragisnya Bantuan pemerintah pun tak bisa kami dapat. Karena kami bukan
penduduk asli dan KTP emak pun masih tertera sebagai penduduk Blitar. Bagaimana
emak bisa pulang ngurus KTP, sementara buat hidup saja kami masih kesulitan.
Waktu sahur telah tiba tapi Bu dhe
Yuni belum juga memberiku kabar gembira. Ingin rasanya aku lari ke rumahnya
untuk menanyakan perihal Emak.
“Yan.. bangun nduk… sahur sek!’,
ku bangunkan Yanti adek ku pelan. Sengaja ku biarkan Bagas tertidur lelap. Anak
belum genap lima tahun itu biar tidak berpuasa dulu.
“Emak sudah pulang mbak?”, Tanya Yanti
membuat ku semakin sedih.
“Belum Yan..! Dapat nasi dari Bu dhe
sampeyan maem separo, seng separo buat adek mu sarapan nanti. Mbak gak usah
sampeyan bagi. Tolong jaga adekmu yo Yan! Mbak tak ke rumah Bu dhe tanya keadaan Emak!”, ucapku pada Yanti yang sedang makan sahur.
“Enggeh mbak”, terdengar dia
menjawab
Tapi sampai di depan pintu terdengar ribut-ribut di depan rumah. Ada Bu dhe, pak dhe, pak RT dan beberapa
tetangga. Hatiku semakin tak karuan. Aku langsung lari menghampiri Bu dhe.
“Emak pundi Bu dhe?”, tanyaku
sambil menangis.
Tapi Bu dhe cuma diam memelukku
erat sambil menangis sesenggukan.
“Sabar yo nduk Fit! Emakmu diketemukan
tertabrak mobil di jalan besar. Ternyata emakmu nekat mulung wengi-wengi nduk. Mungkin
pas enek razia emakmu lari terus tertabrak mobil. Sabar yo nduk!", Pak dhe
menjelaskan peristiwa yang menimpa Emak dengan sedih.
Aku teriak sejadi-jadinya di
pelukan Bu dhe tak peduli waktu masih lah gelap. Teriakan ku membuat warga
semakin berdatangan. Sementara sorot mobil ambulan seolah menelanjangi penderitaan ku
dari ujung gang. Terlihat ada beberapa petugas rumah sakit dibantu warga
membawa tubuh Emak dalam tidur panjangnya.
“Emak.. Mak.. bangun Mak”, aku
menghampiri tubuh emak yang sudah mulai kaku.
Sementara Yuni dan Bagas ikut
menangis terisak. Bagaimana aku bisa menggantikan posisi Emak dan Bapak. Semetara
tubuh ku belum cukup mampu menanggung beban seberat ini. Ditinggal Bapak
sebulan lalu sudah menjadi pukulan berat bagi kami bertiga. Kini Emak
menyusul Bapak ikut menghilang di telan
sang malam. Aku pasrah kan hidupku dan adik-adik pada Mu Tuhan. Aku yakin malam
adalah makhluk Mu yang baik yang tak hanya memberikan perihnya kehidupan tapi
jua bintang yang tak lama lagi bersinar di kehidupan kami yang sekarang kelam.
24 comments
Ini fiksi mini atau cerpen? Hehe .. Btw, Semangat menulis. Salam literasi
ReplyDeleteCerpen Mbak bagus banget. Saya jadi terharu, dan saya kira dalam masyarakat kita banyak kejadian ini ya.
ReplyDeleteCerpen yang terinspirasi dari kehidupan yang ada di dekat kita. Cerpennya bagus, mba. Ditunggu cerpen berikutnya.
ReplyDeleteSambil baca sambil ikut merasakan kelaparan dan khawatir karena emak blm pulang dan tenryata kecelakaan ya :(
ReplyDeleteKeren cerpennya mbak.. Bisa membawa pembaca masuk ke dalam suasana :)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteCerpennya bagus, tapi sedih. Ini yang mungkin terjadi di luar sana.
ReplyDeleteFit, yang kuat ya, jaga adik-adik dan nurut pak Dhe, Bu De ya.
Cerpennya bagus mbak, sangat dekat dg kehidupan sehari-hari.
ReplyDeleteKeren mba, cerpennya. Duh, ikutan terharu dan berpikir harus melakukan apa buat bisa bantu si sulung Fitry. Semoga dirimu dan adik-adik selalu diberikan kesehatan, kelancaran rezeki, dan kebahagiaan, aamiin.
ReplyDeleteCeritanya sangat sedih ya, nggak kebayang bila itu terjadi di posisi saya, pasti nggak karuan.
ReplyDeleteMasih menunggu kelanjutan kisahnya semoga dg akhir bahagia.
hebat euy bisa menulisakan cerita kaya hini kak...adakah lanjutan kisahnya? ditunggu ya mak
ReplyDeletecerita diatas mengingatkan saya seperti acara di tv trans7 yang mengangkat ksiah anak-anak yang sebenarnya belum cukup dewasa untuk menerima cobaan hidup sebesar orang dewasa huhu
ReplyDeleteWalau sedih tapi menginspirasi mba.
ReplyDeleteMba, Mohon maaf lahir dan batin ya semoga kita dipertemukan dengan Ramadan tahun depan dengan situasi yang jauh lebih baik lagi :)
Ya Allah
ReplyDeletesedih banget nasibmu, Nak
Sekecil itu menanggung beban berat kehidupan
Cerita yang bagus, lanjutkan mbak. Semoga lancar ya menulisnya
ReplyDeleteCeritanya bagus, potret kehidupan yang banyak terdapat di sekitar kita. Penulisannya juga tersusun dengan rapi. Kalau boleh sedikit kritik adalah akhir cerita yang mudah ditebak.
ReplyDeleteSepertinya ini masuk cerpen, ya? Kalau boleh kasih saran, ada penulisan yang perlu diperbaiki, seperti penulisan double tanda baca setelah tanda seru dikasih koma, sebaiknya kasih tanda seru saja, satu lagi penulisan dialog tagnya perlu diperbaiki, beri tanda koma Sebelum memberi petikan penutup. Semoga berkenan dengan Saran dari saya, kalau ide cerita udah lumayan, sih.
ReplyDeleteCerpen ini mengingatkan kita agar lebih peduli. Aku merinding bacanya. Kita sebagai tetangga, seharusnya bisa menjadi keluarga paling peduli.
ReplyDeleteduuhh sedih banget sih Mbak ceritanya.
ReplyDeletetapi kejadian seperti ini masih ada pasti diluaran sana, hiiks.
Kalau melihat banyak kata sepertinya tulisan ini masuk di kategori cerpen ya. Lebih detil dan panjang alur ceritanya. So far menarik sih. Sedih dan sesuai dengan sityasi sekarang.
ReplyDeleteApakah kelanjutannya ketiga bocah itu bersama Bu Dhe Yuni? Ngenes, sedih, dan bingung lagi mau komen apa
ReplyDeleteKondisinya relate banget ya sama apa yang terjadi hari ini. Banyak orang yang merasakan kelaparan karena pembatasan sana sini.
ReplyDeleteTapi, saya kok jadi mikir gini ya. Masa orang mau diam saja selama 2 bulan ini? Masa cuma mau berharap pandemi selesai aja? Kan mestinya melakukan sesuatu agar dapur tetap mengepul.
Cuma mikir gitu sih.
Sedih banget mba ceritanya, apalagi dijelaskan dengan jalan cerita yang mudah dipahami. Bikin pembaca jadi terbawa sama suasana isi ceritanya. Menarik mba
ReplyDeleteBaca ini tuh bikin aku jadi ingin melanjutkan kisah fiksi aku yg masih belum kelar-kelar juga hehe
ReplyDeleteSemangat bu..
Delete